Tirta yatra ke Pura Pengubengan kami lanjutkan
setelah melakukan persebahyangan di Pura Tirta Pingit. Dari Pura Tirta Pingit
kami menaiki lembah yang ditumbuhi rumput gajah yang cukup tinggi. Karena
banyak ada rumput gajah maka tim mencoba mencari jalan alternatif lain yang
mungkin lebih mudah dan tidak harus melewati rumput gajah yang bisa membuat
kulit tergores oleh daunnya.
Kami mencoba mencari jalan lain dengan memutar
agak jauh. Sebenarnya jalan lewat rumput gajah merupakan jalan singkat untuk
menuju pura Tirta Pingit dari Pura Pengubengan atau sebaliknya dari Pura Tirta
Pingit ke Pura Pengubengan. Jalan alternatif yang kami tempuh memang tidak ada
rumput gajahnya tetapi jalannya hancur dan penuh dengan kerikil yang pastinya
bisa membuat Anda terpleset karena kerikil yang kita injak “melarikan diri”
dari telapak kaki. Ada salah satu anggota tim berandai-andai jika dia membawa
motor untuk mencapai Pura Tirta Pingit. Bayangkan saja, kaki kita saja
terpeleset apalagi membawa motor, bisa-bisa masuk ke dalam semak-semak. Canda
tawa pun tak terbendung mendengar teman-teman berandai-andai. Sungguh sangat
menyenangkan bersama teman-teman melakukan persembahyangan.
Walaupun jalannya menanjak, perjalanan kami
tidak terasa melelahkan karena diselingi canda tawa. Akhirnya tim sampai di
parkiran Pura Pengubengan. Nah, sama seperti di Pura Tirta Pingit, di Pura
pengubengan juga terdiri dari tiga kawasan (mandala), yaitu nista mandala,
madya mandala dan utama mandala. Hanya saja di Pura Pengubengan tidak ada
tempat pemandian dan melukat seperti
yang ada di Pura Tirta Pingit. Akan tetapi di Pura Pengubengan ada sebuah
wantilan yang digunakan untuk istirahat dan juga digunakan oleh para pedagang
asongan mengais rejeki.
Kami tidak langsung menuju wantilan (nista
mandala), akan tetapi menuju madya mandala. Seperti biasa, di madya mandala
tempat untuk mempersiapkan alat-alat persembahyangan (canang sari, bunga dan
dupa). Nah pas pada saat mau menyalakan dupa, ups. . . korek apinya ketinggalan
di Pura Tirta Pingit. Akhirnya salah satu tim membeli korek api di pedagang
yang ada wantilan, tetapi tidak dapat membeli korek api malah dapat meminjam
dari pedagang tersebut.
Dupa pun sudah menyala, tim sudah siap melakukan
persembahyangan dan menuju utama mandala. Di Pura Pengubengan terdapat
pelinggih pokok meru tumpang sebelas
di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan
tembok penyengker. Di sinilah
pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh
sebelum Bhatara Turun Kabeh di Pura
Penataran Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura
Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan
aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka
cukup aturan itu dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Dari Pura Pengubengan
pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak
nampak. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
Setelah tim memasuki kawasan utama mandala, seperti
biasanya, salah satu tim menghaturkan canang
sari di salah satu pelinggih, sedangkan rekan-rekan yang lain duduk
berjejer ke samping dengan rapi. Persebahyangan kami awali dengan melakukan meditasi (mengheningkan pikiran)
mengucapakan puja dan puji syukur kehadapan Hyang Widhi berkat beliau
perjalanan kami selamat sampai di tempat tujuan, yaitu di Pura Pengubengan.
Selesai melakukan meditasi kami melakukan
persembahyangan panca sembah dan di
akhiri dengan nunas tirta.
Perjalanan kami berikutnya menuju Pura Batu
Peninjoan. Selesai sembahyang tim langsung menuju parkiran sepeda motor dan berangkat
menuju Pura Batu Peninjoan. Bagaimana perjalanan kami ke Pura Batu Peninjoan?