Kita terlahir ke dunia membawa tiga hutang yang
dikenal dengan nama tri rna (tiga
hutang). Salah satu dari ketiga hutang tersebut adalah berhutang kepada kepada
leluhur atau orang tua. Kita berhutang kepada leluhur atau orang tua karena
beliau telah melahirkan, membesarkan dan mendidik kita sehingga menjadi anak
yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan negara. Hutang kepada leluhur atau
orang tua dalam masyarakat Bali khususnya umat Hindu dikenal dengan nama Pitra Rna. Hutang ini harus dibayar
dengan melakukan pengorbanan suci yang tulus ikhlas dan dikenal dengan istilah Yadnya.
Pengorbanan suci dan tulus ikhlas kepada leluhur
atau orang tua disebut dengan Pitra
Yadnya. Salah satu contoh pelaksanaan Pitra
Yadnya adalah upacara Ngaben. Ngaben adalah suatu upacara pembakaran
mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali. Tujuan dari upacara ngaben adalah mengembalikan lima
unsur-unsur yang ada dalam diri orang yang meninggal ke alam. Adapun kelima
unsur tersebut yakni api, air, tanah udara dan hampa udara (eter). Selain mengembalikan
kelima unsur tersebut, upacara ngaben juga bertujuan untuk mensucian roh
leluhur orang yang sudah wafat untuk menuju ke tempat peristirahatan terakhir
dan merupakan perwujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang
ditinggalkan.
Kata Ngaben sendiri berasal dari urat kata “abu”, kemudian disandikan menjadi kata “ngabuin” yang artinya menjadikan abu. Jadi
untuk menjadikan abu, orang yang sudah meninggal dunia jasadnya harus dibakar. Upacara
Ngaben dilakukan dengan beberapa
rangkaian upacara, yang terdiri dari
berbagai rupa sesajen dengan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya
ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben biasanya dilakukan secara besar-besaran,
sehingga untuk mempersiapkannya memerlukan waktu yang lama, tenaga yang banyak
dan juga biaya yang tidak sedikit, sehingga upacara Ngaben sering dilakukan dalam waktu yang lama setelah kematian.
Pada masa sekarang ini masyarakat Hindu di Bali
sering melakukan upacara Ngaben
secara massal, yang tujuannya untuk menghemat biaya. Untuk mengikuti upacara ngaben massal, jasad orang yang
meninggal untuk sementara dikebumikan terlebih dahulu sampai biaya mencukupi
baru di laksanakan. Akan tetapi, bagi orang dan keluarga yang mampu, upacara
ngaben dapat dilakukan secepatnya dan jasad disemayamkan terlebih dahulu di
rumah untuk menunggu waktu yang baik. Ada anggapan, bahwa kurang baik bila
penyimpanan jasad terlalu lama di rumah, karena roh orang yang meninggal
tersebut menjadi bingung dan tidak tenang dan dia merasa berada hidup diantara dua
alam serta selalu ingin cepat
dibebaskan.
Pelaksanaan Ngaben
itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta (sulinggih) untuk menetapkankan kapan
hari baik untuk melakukan upacara tersebut. Sambil menunggu hari yang baik,
biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan persiapan
tempat pengusungan, pembakaran mayat dan peralatan lain yang diperlukan. Tempat
pengusungan mayat ini disebut dengan nama “Bade”
dan akan diarak-arak sampai ke kuburan. Sedangkan tempat pembakaran mayat
biasanya berbentuk binatang, misalnya lembu, singa, angsa dan lain sebagainya
yang terbuat dari bambu, kayu, dan kertas warna-warni.
Pada saat upacara ngaben akan dilaksanakan, pada pagi hari seluruh keluarga dan masyarakat
akan berkumpul dan jasad terlebih dahulu dimandikan. Biasanya proses pemandian jasad
ini dipimpin oleh seorang sulinggih
atau orang dari golongan kasta Brahmana. Setelah proses pemandian jasad selesai
dilakukan, mayat dirias dengan
mengenakan pakaian adat Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk
memberikan penghormatan terakhir dan diiringi doa semoga arwah yang diupacarai
memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang lebih baik.
Mayat yang sudah dimandikan dan mengenakan
pakaian adat Bali tersebut diletakan di dalam “Bade” lalu diusung secara beramai-ramai ke tempat pembakaran
jenazah. Arak-arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan
dan kidung suci. Pada sisi depan dan belakang “Bade” yang diusung terdapat kain
putih yang mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk
dapat sampai ke tempat asalnya.
Setelah sampai di lokasi tempat pembakaran yang
sudah disiapkan (kuburan) kemudian mayat dimasukan di dalam “replika berbentuk binatang”
yang sudah disiapkan sebelumnya. Sebelum tempat pembakaran jenazah dibakar terlebih
dahulu dibacakan mantra dan doa oleh pendeta (sulinggih) dan akhirnya replika
berbentuk binatang sebagai tempat jenazah dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu
dari pembakaran mayat tersebut dimasukan ke dalam buah kelapa gading (kuning)
lalu kemudian dihayutkan ke laut atau sungai.
Setelah upacara ngaben selesai dilakukan biasanya diikuti dengan upacara potong gigi. Akan tetapi upacara
potong gigi ini tidak harus mesti dilakukan pada saat upacara ngaben selesai, bisa juga dilakukan
secara terpisah dalam waktu yang berbeda dan tergantung kemampuan seseorang
untuk mengikuti upacara ini.