Tari topeng sudah ada sejak jaman prasejarah
yang biasanya digunakan untuk upacara adat atau untuk menceritakan kembali cerita-cerita
kuno dari para leluhur. Tari topeng tetap lestari hingga saat ini tak
terkecuali tari topeng yang ada di Pulau Bali. Bali yang kental dengan tradisi
dan adat istiadatnya tetap melestarikan tari topeng. Apalagi pada tanggal 2
Desember 2015 di Windhoek (Namibia), Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO
menetapkan 9 tari Bali yang diakui sebagai warisan budaya dunia yang salah satunya adalah tari topeng
sidakarya.
Tari Topeng Sidakarya merupakan salah satu Tari Bali yang ditarikan untuk pelengkap
dari ritual keagamaan sehingga tari disebut sebagai tari wali. Tarian ini
ditarikan oleh laki-laki dengan ciri-ciri topeng berwarna putih, mata sipit, gigi
tonjos, wajah setengah manusia setengah demanik, rambut panjang sebahu, dan
memakai krudung merajah. Penari biasanya
membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, dan sekar
ura. Bagaimana sejarah munculnya Tari
Topeng Sidakarya?
Tari Topeng Sidakarya |
Tari Topeng Sidakarya erat kaitannya dengan Raja
Waturenggong yang merupakan Raja Gelgel (Klungkung) pada abad XVI. Pada saat akan
melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra (dirayakan setiap 100 tahun sekali) di Pura
Besakih, datanglah seorang brahmana (pendeta Hindu) dari Keling ke Pualu Bali untuk
menemui raja Klungkung di istana Gelgel. Keling merupakan nama suatu daerah di Jawa
Timur. Karena berasal dari Keling maka brahmana tersebut dikenal dengan sebutan
“Brahmana Keling”.
Sesampai di tempat tujuan, istana Gelgel dalam
keadaan sepi karena sang raja sedang berada di Pura Besakih dan hanya disambut
oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di istana. Karena raja tidak ada di istana
maka pemuka masyarakat yang menyapa tersebut mempersilahkan Brahmana Keling menuju
Pura Besakih. Sesampainya di Pura Besakih beliau disapa oleh masyarakat para
pengayang yang ada di pura dan brahmana tersebut mengatakan ingin menemui
saudaranya yakni Raja Waturenggong dan penasehat raja yakni Dang Hyang Nirartha.
Karena dalam keadaan compang-camping selayaknya seorang pengemis, maka masyarakat
sangat tersinggung karena mereka beranggapan tidak mungkin orang seperti ini
sebagai saudara sang raja sehingga warga melarang bertemu sang raja. Tetapi
Brahmana Keling bersikeras ingin bertemu sang raja.
Dalam menunggu sang raja beliau duduk di tempat
suci yang bernama Pelinggih Surya Chandra. Di atas sana beliau duduk
berstirahat sejenak, untuk melepas penatnya. Tak berselang beberapa lama
datanglah sang raja dan melihat orang dengan pakaian compang camping duduk di
atas tempat suci. Alangkah terkejutnya hati beliau serta merta dengan marah
lalu memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang itu yang telah
berani duduk di atas sana. Mendengar apa yang dilaporkan oleh para prajurit, bahwa
orang tersebut mengaku sebgai saudara raja maka bertambah murkanya sang raja lalu
memerintahkan para prajurit untuk segera menyeret keluar orang yang disangka
gila itu. Sesuai perintah sang saja, prajurit mengusir sang brahmana dengan
suara sorak sorai dari Pura Besakih dan raja tidak mengakuinya sebagai saudara.
Sebelum sang brahmana meninggalkan Pura Besakih,
beliau lalu mengucapkan kutukan bahwa upacara yang dilaksanakan di Pura Besakih
ini tidak sukses, bumi kekeringan, rakyat diserang wabah penyakit, dan hama akan
menyerang. Lalu sang brahmana meninggalkan Pura Besakih menuju Badanda Negara (Desa
Sidakarya sekarang) dan di sini beliau membuat pesraman. Tidak berselang
beberapa hari suasana Pulau Bali terutama istana Gelgel dan sekitarnya mulai
menampakkan situasi yang tidak mengenankan. Semua tanaman pohon pohonan yang
berguna bagi pelaksanaan penunjang upacara semua layu dan buahnya berguguran, hama
mulai menyerang tanaman petani, bumi seketika mengalami kekeringan, wabah
penyakit merajalela menyerang penduduk, antara pengabdi kerajaan bertengkar
tanpa sebab dan semuanya dalam keadaan kacau balau. Sehingga jadwal pelaksanaan
upacara Eka Dasa Ludra urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan
untuk diteruskan.
Tari Topeng Sidakarya |
Melihat kenyataan itu lalu Dalem Waturenggong
mengadakan semedi di Pura Besakih.
Beliau mendapat petunjuk bahwa beliau telah berdosa mengusir saudaranya sendiri
secara hina dan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala hanya Brahmana
Keling yang mampu melakukan hal itu. Setelah mendapatkan petunjuk, esok harinya
raja memanggil perdana mentri, para Patih dan para punggawa untuk mengadakan
sidang untuk menjemput sang brahmana yang pernah diusirnya.
Singkat cerita berangkatlah rombongan penjemput
Brahmana Keling ke Badanda Negara. Sesampainya rombongan di Badanda Negara
bertemulah dengan Brahmana Keling lalu menceritakan tentang maksud
kedatangannya menghadap Sang Brahmana. Sesuai dengan perintah raja memohon agar
Brahmana Keling bersedia datang kehadapan raja sesegera mungkin. Lalu Brahmana Keling
setuju dan mempersilahkan utusan raja segera berangkat duluan, Brahmana Keling
akan menyusul.
Perjalanan kembali Brahmana Keling ke istana
Gelgel lanjut ke Pura Basakih tidak ada yang tahu. Beliau sudah ada duluan
dengan rombongan penjemputnya di hadapan raja di Pura Besakih. Setibanya
Brahmana Keling di Pura Besakih barulah beliau disambut selayaknya tamu
kebesaran dan diperlakukan dengan sangat sopan hormat dan ramah.
Dalam percakapan beliau berdua yang disaksikan
juga oleh Dang Hyang Nirartha, pada dasarnya bahwa apabila Brahmana Keling
mampu mengembalikan keadaan pulau Bali seperti sedia kala maka Dalem
Waturenggong berjanji dan bersedia mengakui bahwa Brahmana Keling sebagai saudara
raja. Mendengar sabda raja seperti itu, lalu Brahmana Keling dengan senang hati
menyanggupinya. Tanpa prasarana dan sesajen apapun beliau hening sejenak, dengan kekuatan batin yang luar biasa maka
keaadaan Pulau Bali kembali seperti sedia kala di mana wabah penyakit seketika
sirna, tanaman tumbuh subur, dan hama tidak lagi menyerang tanaman petani
sehingga raja mampu melanjutkan pelaksanaan Upacara Eka Dasa Ludra di Pura
Besakih.
Berkat jasa Brahmana Keling yang mampu
menciptakan kesejahteraan dan hasil bumi yang melimpah ruah, sehingga upacara
dapat berjalan dengan aman, nyaman dan sukses sesuai dengan harapan raja lalu Brahmana
Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat inilah Brahmana Keling mabiseka Dalem
Sidakarya. Lanjut dibuatkan upacara pediksan sebagaimana mestinya. Saking
gembiranya sang raja karena upacara yang dilaksanakan betul-betul berhasil (Sidakarya), beliau bersabda supaya setiap
umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan upacara suci wajib nunas tirta
Penyida Karya yang bertempat di Pesraman Dalem Sidakarya dan wajib mementaskan tari
Topeng Sidakarya.